Badai di Pucuk Merapi jam dua pagi

Selamat Pagiiiiiii Merapi
Beeeeeh, 2 dini hari di 2600 mdpl berhujan badai hingga tak kuat tangan ini untuk menggenggam.
Yap, itu secuil kisah mengesankan di pendakianku ke puncak Merapi. Bersama 15 kawan yang lain, pendakian ini sebenarnya menjadi bertambah berat. Entah karena kawan-kawan yang baru pertama ndaki atau memang cuaca dan keadaan yang tak mendukung. Bertolak dari Solo pukul 2 siang, Sabtu itu kami bersepeda motor menuju rumah kawan kami, Indra. RUmahnya persis di kaki gunung merbabu. Jangan tanya dinginnya, sudah pasti.

Sesampainya di sana, kami disuguh ketan putih dan the hangat untuk teman kami berkemas sebelum pendakian, kalau kata pendaki istilahnya “packing”. Seusai packing, kami bertolak menuju basecamp pendakian Gunung Merapi. Di sana setiap orang dimintai biaya retribusi Rp. 15.000,00 dan parkir motor Rp. 5.000,00. Menurutku sedikit lebih mahal daripada gunung-gunung lainnya. Di sana kami sempat menunggu beberapa menit karena hujan deras turun tak berhenti. Hingga pada akhirnya jam 6 sore kami putuskan untuk mulai pendakian. Baca lebih lanjut

Aku yang tak pernah puas

Butiran ini tak jatuh dengan sendirinya, ada jengkal harapan yang jauh dari apa yang terpikir
Ada yang jatuh tepat di atas rayuannya, ada yang tersingkir hingga jatuh di pilihan yang salah
Atas kuasa-Nya, tak ada pilihan yang salah, yang ada hanya kita yang tak bersyukur
Kemudian mencari labuhan yang lain, hingga tak kau dapatkan lagi tanah yang sama

Lihat isi dompet tebalmu, jajaran kartu ATM, hingga pasang ratusan ribu, berikut adek-adeknya
Toleh sebentar kawanmu, yang tak pernah berkata ‘tidak’ saat kau butuh bantuannya
Menunduklah sebentar, ada ritual sujud yang kau bisa teteskan air mata di atasnya
Dan belalakkan matamu ke langit, lalu berkatalah ‘Aku tak sempurna’

Ibarat sebuah tulisan yang kau tulis rapi, terhiasi indah, hingga berwarna
Kemudian tulisan itu bernyawa, bermulut hingga berkata ‘jelek sekali aku ini, tak ada seninya sama sekali’
Mungkin apa yang kau rasa, terasakan pula oleh penciptamu
Hanya saja Dia tak langsung menegurmu

Ini tulisan untukku, yang tak pernah merasa puas…
Rangkaian ini tentangku, yang selalu mengejar…
Dan tamparan ini untukku yang tak pernah bersyukur…

Senja hingga senja, Dieng

Semacam tak percaya, aku yang dulu acuh dengan hal indah ini, kemudian terbiasa dengan gugusannya beberapa bulan terakhir. Baru tiga, mungkin akan menjadi lima atau tujuh dan selebihnya. Puncak yang tak banyak orang bisa menikmatinya, yang lebih memilih cahaya lampu gemerlap daripada rinai gerimis tersinari bintang atau kawan sejatinya, bulan.

Kali ketiga, kaki ini tertuntun ke Puncak Prau, Wonosobo. Berkawan carier 60L, sandal eiger, dan cakap tawa 3 kawanku. Sore itu 5 pm, kuputuskan inilah saatnya. Dan aku bukanlah para profesional, alat yang masih bertemu di persewaan dan nyali yang tak sebesar mereka. Tak akan ku bercerita tentang apa yang terjadi di perjalanan, bukan pula tentang keindahan yang Allah tawarkan ketika kita berada di atas, semua biarlah kami saja yang menyimpannya rapat. Karena jika sudah tergambar nyata, kalian tak akan pernah mengunjunginya. Baca lebih lanjut

Jogja dini hari (2)

Meja ini tak cukup untuk laptop putihku, apalagi bersama pasangannya
menatap jauh, ada sofa biru bergaris sesukanya
bersanding dengan meja kayu, dan tak berpenghuni
sudahlah, kuputuskan saja pindah ke lain kaki

Word terbuka, hitam di atas putih pilu dan bingung apa yang harus kulanjutkan
nilai mereka, laporanku, atau kutulis saja tentang malam ini
buaian Tulus pun akhirnya hadir. haru, pilu, bit datar, dan Boomerang
“Dia biarkan ku jatuh cinta, lalu dia pergi seenaknya”
Susah jika bernyanyi dengan puisi di dalamnya
Kadang bilang senyum, yang berarti luka dan sebaliknya Baca lebih lanjut

DI BALIK 98

Capture3Sore ini, tujuanku terealisasi. Ya walau tak biasa bertiga, tapi menyenangkan. DI BALIK 98. Film ini berkisah mengenai tragedi trisakti dengan terbumbui beberapa cerita random yang menambah antusias. Ada alasan mengapa saya sampai rela mengeluarkan sedikit uang untuk menonton film Indonesia ini. Karena untuk beberapa orang nonton film Indonesia menjadi hal yang aneh. Tapi tidak denganku, justru film Indonesia lah yang susah keluar versi web-nya (bajakannya maksudku… hehehhe.)

Kembali ke film, duduk di hadapan layar seakan turun dan masuk ke dalamnya. Menjadi mahasiswa di kala itu dengan sejuta nafsu untuk Indonesia yang lebih baik. Suharto bukanlah menjadi pilihan rakyat, lagi. Seakan nama itu harus enyah dari dunia politik Indonesia. Tak hanya itu, tetes sampai alir air mata ini melihat semangat reformasi yang mencoba dihadirkan kepada penonton. Mungkin rasa iba itu hadir karena posisi saya sebagai mahasiswa. Seakan terbayar entah berapa jam yang mereka sisihkan untuk negeri ini. Teriakan, peluh, sakit, hingga nyawa yang mereka haturkan berujung dengan sujud haru, tangis bangga. Baca lebih lanjut